K
eputusannya ditentukan oleh pengadilan. Namun umumnya, perwalian diserahkan kepada ibu.
Ketika sebuah pernikahan harus berakhir di pengadilan, maka hak perwalian anak sering menjadi rebutan. Menurut
Nursjahbani Katjasungkana, SH
secara alami hak perwalian anak yang usianya masih di bawah 12 tahun
akan jatuh ke pihak ibu. Namun, bukan tak mungkin hak itu jatuh ke
tangan ayah apabila di pengadilan suami bisa membuktikan bahwa istrinya
bukan ibu yang baik.
Tentu saja proses pembuktian bukanlah perkara mudah. "Pada kasus
perselingkuhan seorang istri, misalnya, bisa saja ia terbukti bersalah,
tapi pengacara masih dapat membelanya dengan menyatakan ia tetap bisa
menjadi ibu yang baik bagi anaknya."
Perbedaan agama suami dan istri juga bisa menjadi penyebab. Jika anak
memeluk agama yang sama dengan ayahnya, maka hak perwalian bisa jatuh
ke tangan ayah. Juga, jika ibu pergi dari rumah dengan meninggalkan
anak-anaknya. Peristiwa itu bisa dijadikan argumen suami untuk merebut
hak perwalian anak. Tak peduli jika misalnya kepergian ibu disebabkan
kekerasan domestik yang dilakukan suami terhadapnya. Menurut
Nursjahbani, kedua penyebab ini sangat patriarkal atau memihak kekuasaan
laki-laki.
Terakhir, jika ibu memang merasa tak mampu atau tak ingin menjadi
wali anaknya sementara suami menyanggupi. Yang jelas, hak perwalian
biasanya diputuskan dengan perjanjian di luar pengadilan supaya proses
legalitas perceraian berlangsung cepat.
MENGAPA IBU?
"Sampai usia 12 tahun, seorang anak masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang ibu," demikian kata
Dra. Hj. Triesna Wacik, Psi
dari Forum Keluarga Visi-21. Inilah yang menjadi alasan mengapa jika
perceraian terjadi, hak perwalian anak di bawah usia 12 tahun menjadi
milik ibu. Pertimbangan lainnya, apabila hak perwalian jatuh ke tangan
suami, mungkin akan timbul masalah yang lebih besar daripada jika anak
ikut ibunya. "Bagaimanapun, kalau selama masa pernikahan suami lebih
banyak menghabiskan waktu untuk mencari nafkah di luar rumah, maka suami
harus 'belajar keras' tentang pola pengasuhan anak. Ia harus bisa
menjadi ayah sekaligus ibu bagi anaknya."
Menurutnya, dalam banyak kasus, anak balita yang berada dalam
pengasuhan ayah akan mengalami masalah emosional di kemudian hari.
Bersama ayah, anak cenderung merasa kesepian dan berkurang rasa amannya
pada diri sendiri. Bukan tak mungkin kalau akhirnya nanti ia akan
mencari pelarian di luar rumah.
Triesna menambahkan, di Indonesia umum terjadi, pasangan yang
bercerai kemudian menitipkan anak pada nenek atau saudara lain karena
satu dan lain hal. Selama nenek atau saudara ini memang bijaksana dalam
mendidik anak, dan bisa menempatkan posisinya dengan benar, bisa jadi
malah lebih baik bagi perkembangan emosional anak. "Yang harus
diperhatikan, jangan sampai anak merasa 'dibuang' oleh kedua orang
tuanya,'' tekan Triesna.
Kalaupun tidak sampai dititipkan, campur tangan keluarga besar
tetaplah baik, asalkan tujuannya memang untuk kebaikan anak. Sering
terjadi, hak perwalian anak diperebutkan justru untuk kepentingan
keluarga besar, sehingga anak jadi bingung. "Hindari hal seperti itu
karena bagaimanapun juga anak telah menjadi korban perceraian kedua
orang tuanya,'' pesan Triesna. "Jangan sampai ia dikorbankan lagi demi
kepentingan keluarga besar salah satu orang tuanya."
HAK-HAK WANITA DAN ANAK
Soal hak perwalian di tangan ibu menurut Nursjahbani diperkuat oleh
pasal 41 UU Perkawinan. Di dalamnya tertera bahwa hak-hak wanita pada
kasus perceraian adalah menjadi wali bagi anaknya yang belum dewasa (di
bawah 12 tahun), mendapat nafkah dari mantan suami selama 3 bulan 10
hari, dan mendapat harta
gono-gini
sebanyak setengah dari seluruh harta yang dikumpulkan selama masa pernikahan.
Katanya, jika terjadi sengketa maka beberapa hal bisa dibuatkan
perjanjian di luar pengadilan. Misalnya bila istri tidak mempunyai
penghasilan tetap, maka bisa dibuat perjanjian bahwa mantan suaminya
tetap memberi tunjangan hidup bagi anak dan dirinya tanpa kehilangan hak
perwalian.
Nursjahbani kemudian menambahkan, "Dalam pasal 41 UU Perkawinan juga
disebutkan, suami maupun istri tetap bertanggung jawab atas pendidikan
anak. Mantan suami tetap berkewajiban untuk memberi tunjangan pendidikan
anak, kecuali bila suami tidak mampu, maka istri bisa membantu."
"Dalam kompilasi hukum Islam juga ada ketentuan akan mut'ah atau uang penghiburan (
moral support
), dan mas'ah atau menyediakan tempat tinggal tetap bagi mantan istri,"
lanjutnya. "Dalam PP No 10, pemberian nafkah itu diatur sampai si wanita
ini menikah lagi. Secara terperinci malah disebutkan bahwa sepertiga
gaji suami untuk anak, sepertiga untuk mantan istri, dan sepertiga untuk
dirinya sendiri."
Sumber : http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Orang-Tua-Bercerai-Anak-Ikut-Siapa