Seorang anak yang selalu hidup terisolir dalam konflik kedua
orangtuanya, sangat berpontensi melakukan hal-hal negatif dan diluar
batas.
Sebuah penelitian yang dilakukan di University of California, Los
Angeles setelah mempelajari masalah dalam (kurang lebih) 2000 keluarga,
membuktikan bahwa anak tetap menjadi korban ‘empuk’ dalam pertikaian
rumah tangga.
Efek pertikaian ini, biasanya akan membuat si anak cenderung
melakukan hal-hal negatif diluar kebiasaannya. Ketidakstabilan emosiyang
disebabkan, akan membuat si anak mencoba menggunakan obat-obatan
terlarang, mengonsumsi alkohol hingga melakukan seks bebas.
Untuk itu, berdasarkan observasi yang telah dilakukan selama 30
tahun, menyatakan bahwa kedua orangtua yang sudah tak lagi saling
mencintai, sebaiknya jangan pernah hidup bersama dalam satu atap.
Hal ini hanya akan menyakiti hati dan mental sang anak. Seorang anak
yang terus-menerus melihat pertengkaran orangtuanya, bisa menderita
kelainan secara psikis dan gangguan perilaku, saat berhubungan dengan
orang lain.
Profesor Kelly Musick, sekaligus penulis buku “Are Both Parents
Always Better than One? Parental Conflict and Young Adult Well-Being”,
mengungkap bahwa seorang anakyang terlahir dan besar dalam keluarga
penuh konflik, cenderung menjadi bodoh secara akademis, dan tak sedikit
juga yang akhirnya putus sekolah.
Ironisnya, dalam usia belia, mereka sudah mencoba untuk merokok, minum alkohol dan melakukan penyimpangan secara seksual.
Berdasarkan hal tersebut, Musick mengambil sebuah kesimpulan nyata,
bahwa hidup dengan kedua orangtua lengkap takkan menjamin jiwa dan
mental seorang anak. “Lebih baik anak hidup dan dibesarkan secara
’sehat’ dengan orangtua tunggal dibanding harus dengan dua orangtuayang
selalu bertengkar,” begitu tulis Musick.
Sumber : http://www.untukku.com/artikel-untukku/efek-keluarga-broken-home-terhadap-perkembangan-anak-untukku.html#null
Tidak ada komentar:
Posting Komentar