.

STOP Kekerasan dalam keluarga CIPTAKAN SUASANA NYAMAN DALAM KELUARGA

Kamis, 26 Juni 2014

Mengajar Anak Berpuasa, Berikanlah Contoh





Ramadan, masa berpuasa sebulan penuh bagi umat Islam, dikenal sebagai bulan penuh berkah. Orang tua pun penuh harap agar anaknya mulai belajar menjalankan ibadah tersebut, kendati belum ada kewajiban. Tentu tak mudah mewujudkannya.
Dosen Psikologi Sosial di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Bandung, Sri Rahayu Astuti mengakui, mengajarkan anak berpuasa semakin dini semakin baik. Namun pola pengajarannya harus dilakukan bertahap.
Pada dasarnya kebutuhan makan anak juga harus dipenuhi. "Orang tua tidak boleh memaksa anak menuntaskan puasanya, sementara anak tersebut sudah sangat haus dan lapar. Hal ini dapat mengakibatkan dehidrasi dan sakit fisik pada anak," ujar Rahayu saat dihubungi Plasadana.com untuk Yahoo Indonesia, Kamis, (19/06).
Bagi anak yang susah makan, boleh jadi puasa membuatnya lebih nyaman. Tetapi untuk anak yang senang makan, bakal sedikit mengalami kesulitan karena harus menahan hasratnya untuk makan dan minum selama beberapa jam.
Bayangkan, anak-anak yang biasa makan tiga kali sehari, kemudian menjadi dua kali. Selain itu, waktunya pun berbeda. Sarapan yang biasanya pukul tujuh pagi berubah menjadi pukul empat atau saat sahur. Begitu pun dengan makan siangnya. Tentu hal ini menjadi persoalan baginya.
Karena itulah, sebaiknya anak-anak juga diberikan pemahaman yang baik tentang puasa. "Pada tahap belajar ini," dia menuturkan, "Anak harus diberikan pujian jika mengalami kemajuan dalam berpuasa." Sebagai contoh, dua hari pertama puasa dua jam, tiga hari berikutnya tiga jam, begitu seterusnya. Berikan pujian bahwa yang dilakukan adalah hal baik.
Rahayu mengingatkan bahwa contoh dari orang tua sangat penting. Saat ibu sedang tidak berpuasa lantaran menyusui atau haid, tidak boleh makan atau minum di depan anak yang sedang berpuasa karena bisa dicontoh anak. "Ibu harus juga menghormati orang lain yang sedang menjalankan ibadah puasa," ujarnya.
Bahkan tak salah juga seandainya kemajuan anak dalam belajar berpuasa diberikan imbalan berupa hadiah yang berjenjang. Misalnya, jika mampu meningkatkan puasa dari dua menjadi tiga jam dapat uang untuk ditabung sebesar Rp2 ribu rupiah dan seterusnya.
Tentang usia ideal berpuasa, Rahayu mengatakan sebaiknya di usia tujuh tahun, walaupun sebagai latihan awal, bisa juga di usia lima tahun. Awalnya bisa dua jam, kemudian menjadi tiga jam berpuasa. Setelah itu boleh makan. "Tahun berikutnya ada peningkatan," ujarnya.
Dia mengingatkan bahwa proses belajar akan melekat pada memori anak jika ia belajar dengan senang hati. Namun jika dipaksakan, termasuk soal puasa, hanya akan mengajarkan anak menjadi tidak jujur. Di depan orang tua mengaku berpuasa, tetapi saat tidak ada, ia bisa saja minum dan makan.
"Jika anak diajarkan tentang apa untungnya puasa dan bagaimana bagusnya puasa dia akan berpuasa dengan penuh kesadaran," ujar dia.
Rahayu juga mengungkapkan, tantangan berat saat mengajarkan anak berpuasa adalah ketika bepergian. Banyak orang yang masih makan dan minum di tempat yang tidak selayaknya.
Dalam kondisi seperti ini, orang dewasa (orang tua maupun saudara) yang bersama anak perlu memberikan pemahaman dan penjelasan, mengapa orang makan dan minum saat puasa agar anak tidak bingung. "Misalnya ibu itu makan dan minum saat puasa karena dia sedang menyusui atau haid," tegasnya.
Sumber : https://id.berita.yahoo.com/mengajar-anak-berpuasa--berikanlah-contoh-080810471.html

Rabu, 25 Juni 2014

Jangan Pernah Ajarkan Anak Berpuasa dengan Paksaan

MENGAJAK anak puasa Ramadan memang baik, tapi itu sejauh mereka senang menjalaninya. Apa sebab?

Hal ini karena anak masih membutuhkan banyak nutrisi untuk tumbuh kembangnya. Untuk itu, para  harus bisa memberikan banyak nutrisi saat berbuka dan sahur guna tubuh anak bisa beradaptasi dalam menjalani puasa.

"Rasa lemas saat anak menjalani puasa ialah keluhan yang umum muncul pada anak, hal ini karena tubuh mereka masih beradaptasi. Dari nutrisi yang seharusnya banyak masuk, menjadi tertahan terlebih dahulu untuk beberapa jam karena puasa. Inilah mengapa seorang anak itu belum diwajibkan untuk menjalani puasa," ucap Dr. Piprim B. Yanuarso SpA(K) seorang dokter spesialis anak RS. Cipto Mangunkusumo kepada Okezone

Selain itu, kata dia,  harus bisa mengajarkan puasa dengan cara yang baik dan menyenangkan, agar saat tiba masanya menjalani puasa ia mudah beradaptasi dan lancar menjalani puasa. Menurutnya, ada sejumlah  yang mengajak anak berpuasa tetapi dengan cara yang kurang tepat dan lantas membenci puasa. Sehingga saat masanya tiba menjalani puasa, itu menjadi beban tersendiri untuk mereka.

Sementara untuk memudahkan anak bisa menjalani puasa, Anda bisa memberikan hadiah untuk memacu agar ia belajar menjalani puasa dengan baik, tambah Dr.Piprim. Tak kalah penting, harus juga bisa mengajarkan arti puasa secara perlahan untuk si anak, agar ia bisa menjalani puasa tanpa adanya paksaan.

"Untuk anak bisa menjalani puasa dengan fun, para  harus bisa menjelaskan manfaat puasa bagi si anak itu sendiri. Misalnya Anda selaku  menjelaskan bahwa hasil dari menjalani puasa ini bisa membuat ia masuk surga. Anda harus bisa menjelaskan perumpamaan arti surga,  misalnya " Surga itu nak, lebih indah dari Dufan, masuknya juga gratis lho dan kamu bisa bermain kapanpun kamu mau'. Pasti itu akan menggugah pikiran dan motivasinya untuk menjalani puasa dengan lebih senang," tutupnya.
sumber : http://health.okezone.com/read/2013/08/02/486/846930/jangan-pernah-ajarkan-anak-berpuasa-dengan-paksaan

Jumat, 13 Juni 2014

5 Kesalahan Pola Asuh

Kesalahan-kesalahan berikut ini, sering tak kita sadari, padahal berpengaruh buruk pada anak-anak. Ralat dari sekarang yuk!
  • SMS/BBM tiada henti. Saat anak minta ditemani bermain, mengajak bicara atau sekedar kangen minta dipeluk, Anda tak mempedulikannya karena jari sibuk ber-sms ria. Anak jadi rewel dan menganggu ingin merebut ponsel. Anda jengkel, memanggil pengasuh dan minta pengasuh membawa balita menjauh. Anak belajar memahami bahwa keadirannya tidak penting dan kemudian mengembangkan perilaku masa bodoh. Di usia selanjutnya, saat Anda membutuhkannya, bisa-bisa ia tak peduli.
  • Minta anak berbohong. Ketika terlihat tetangga hendak mampir ke rumah, Anda cepat-cepat berbisik di telinga balita, “Bilang Tante Irma, ibu lagi di kamar mandi, ya,” atau malah disuruh mengatakan ibu sedang pergi. Anak pun paham bahwa berbohong itu boleh. Sedikit demi sedikit ia belajar berbohong, hingga kelak mahir mengelabui Anda.
  • Bermuka dua. Berpura-pura manis saat tetangga datang meminjam majalah. Begitu sang tetangga balik badan, Anda kontan ngedumel, “Minjam melulu. Beli sendiri, kenapa?” Anak belajar bersikap munafik, pura-pura baik supaya dianggap baik.
  • Tidak sportif. Menyaksikan kemenangan anak dalam suatu lomba memang membanggakan. Tapi ketika balita kalah dalam lomba fashion show misalnya, Anda berusaha menghibur hatinya (dan Anda!) dengan kata-kata yang salah, “Duh sayang, kok kamu kalah ya? Padahal kamu tadi oke banget lho! Pasti jurinya salah pilih.” Anak belajar menyalahkan orang lain, tidak menerima kekalahan dan tidak punya cara lebih baik untuk menghibur diri selain menyalahkan.
  • Melanggar lalu lintas. “Ah, tanggung!” begitu baisanya alasan ketika menerobos lampu kuning yang siap merah. Menambah kecepatan untuk menambah kesempatan, memang lebih enak ketimbang memperlambat laju kendaraan dan antre menunggu lampu merah. Kalau anak sudah paham rambu, ia belajar bahwa aturan boleh dilanggar. Kalau anak belum paham rambu, ia akan belajar bahwa lampu kuning artinya boleh jalan. Padahal ini membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Hindari kesalahan!
  • Pikirkan yang akan dilakukan. Anak memperhatikan Anda. Tanyakan pada diri sendiri, “Kalau saya melakukan ini, apa akibatnya?”
  • Terlibat dalam kehidupan anak. Memikirkan kembali dan mengatur prioritas. Apa yang Anda lakukan adalah yang dibutuhkan balita.
  • Sesuaikan pengasuhan dengan usia anak. Sadari perkembangan anak. Ia terus bertumbuh, dan usianya menentukan perilakunya.
  • Buat aturan. Bila Anda bermaksud membentuk perilaku positif anak, tetapkan aturan apa yang tidak boleh dilakukannya.
  • Konsisten. Bila Anda menetapkan aturan untuk anak, patuhi juga aturan yang Anda buat sendiri. Anda melanggar, anak pun melakukannya.
  • Tidak memanjakan, bukan berarti tidak mencintai. Anak butuh cinta bukan dimanjakan. Perilaku anak yang dimanja sama seperti anak yang tak dicintai, senang membuat keributan.
  • Tak melakukan kekerasan, baik fisik, mental maupun verbal. Hukuman fisik atau pelecehan secara verbal membangun anak menjadi sosok yang suka berkelahi.
  • Hargai dan hormati anak. Bila Anda ingin dihargai dan dihormati anak, hargai dan hormati mereka.(me) 
Sumber :  http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/Keluarga/Psikologi/5.kesalahan.pola.asuh/001/007/870/1/1

Senin, 02 Juni 2014

Stop Membentak Anak!

Sekitar satu minggu ini saya sedang mencoba hal baru dalam mendidik anak kembar saya. Saya mendapatkan ide ini sudah lama, jauh sebelum menikah tapi akhirnya bisa mencobanya dengan anak sendiri. Sebagai orangtua, ada waktunya di mana kita harus melarang anak berbuat sesuatu, sebagai contoh hal yang sederhana ke luar rumah ketika hujan. Kebanyakan yang saya lihat keputusan yang diambil orang tua untuk melarang anaknya keluar di saat hujan adalah benar namun terkadang caranya terlalu konvensional. Cara yang digunakan biasanya dengan membentak anak dan melarangnya dengan keras, apakah berhasil cara seperti ini? Jika diperhatikan sang anak bukannya menurut perintah orangtuanya yang terjadi sebaliknya sang anak malah menangis karena dilarang keluar ketika hujan.
Yang saya lakukan sedikit berbeda saya jarang sekali memerintahkan sang anak untuk melakukan hal yang menurut saya benar (dalam hal ini adalah untuk tidak keluar ketika hujan datang), namun yang saya lakukan adalah mengalihkan fokus anak dari bermain hujan-hujanan ke sesuatu yang lebih menarik. Nah sebagai orangtua, Mommies dituntut untuk berfikir kreatif dan mencoba berpikir layaknya anak. Saya mencoba dengan cara bermain kemah-kemahan, jadi ketika kembar mulai menunjukan tanda ingin keluar ketika hujan saya langsung ajak mereka bermain kemah-kemahan, awalnya mereka takut karena belum pernah main seperti ini, dan akhirnya mereka pun lupa ingin bermain di luar.
Di wilayah saya dibesarkan banyak sekali kasus di mana orangtua melarang anaknya dengan membentak, bahkan ada yang sampai menggunakan kekerasan. Saya awalnya tidak pernah menganggap hal tersebut buruk, saya mencoba melihat hasil dari tindakan yang dilakukan dari orangtua kepada anaknya. Memang dalam beberapa kasus membentak bisa berhasil namun dengan tanpa sadar kita sebagai orangtua telah menanamkan bahwa jika kita ingin meminta tolong agar orang lain mau menurut dengan kita harus dengan cara membentak.

screamingmomscreamingmom
*gambar dari sini Children See, Children Do
Dengan sering membentak anak, maka kemungkinan untuk anak anda tumbuh menjadi pribadi yang suka membentak juga semakin besar. Ada pepatah yang bilang “Buah tidak jauh dari pohonnya”, ini karena anak merupakan pribadi peniru yang andal.
Dengan mengarahkan pikirannya ke sesuatu yang lebih menarik, maka ada beberapa keuntungan Mommies sebagai orangtua, yaitu:
  1. Mommies tidak perlu buang tenaga untuk membentak anak, belum lagi kalo anak tidak nurut dan menangis maka akan banyak tenaga yang terbuang untuk menenangkannya lagi.
  2. Mommies bisa membiasakan sang anak untuk berlaku ramah kepada sesama anak lain, orangtua dan lingkungan.
  3. Mommies bisa mengenal lebih jauh tentang sifat anak, karena banyak saya temukan anak yang sering dibentak orangtuanya mereka punya cara sendiri yaitu dengan bertingkah baik di depan orangtua tapi ketika jauh dari pengawasan orangtua maka perilaku mereka bisa jauh berbeda. 
Sumber dari : https://id.she.yahoo.com/stop-membentak-anak-034953689.html